Bogorsportif – Di tengah gelombang kebutuhan tenaga kerja terampil secara global, seorang profesional kehutanan asal Indonesia, Viko Gara, mencatatkan tonggak baru.
Ia menjadi orang Indonesia pertama yang lulus Ujian Tokutei Ginou (SSW) bidang kehutanan di Jepang, sebuah ujian resmi pemerintah Jepang sebagai syarat bekerja di sektor kehutanan.
Sebanyak 19 peserta mengikuti ujian tersebut, dan hanya 16 yang dinyatakan lulus, semuanya orang Indonesia. Walau terdengar seperti pencapaian yang wah, ini ada cerminan tantangan yang besar karena hanya 16 yang bisa mengikuti ujian ini, padahal ada jutaan tenaga kerja muda di indonesia.
Kualitas dan Akses yang Jadi Kendala
sebelum mengikuti ujian, peserta diwajibkan memiliki Japan Chainsaw Safety Certificate, sertifikasi keselamatan kerja yang hanya tersedia di Jepang. Itu berarti calon peserta harus datang ke Jepang dua kali: pertama untuk sertifikasi keselamatan, kedua untuk mengikuti ujian resmi.
“Ini bukan soal mampu atau tidak. Banyak anak muda Indonesia mampu. Tapi akses terhadap pelatihan dan sertifikasi sering menjadi penghalang. Kita tidak kekurangan talenta. Kita Kekurangan jembatan menuju Kesempatan” tegas Viko Gara, Selasa (13/10/2025)
Menurutnya, kesenjangan antara Kampus dan Industri disebabkan kita sibuk Gelar, dunia butuh Keterampilan, dunia bergerak cepat,
” Industri global kekurangan 16 juta pekerja terampil (blue collar skilled), dan Jepang saja kekurangan 6,9 juta orang dalam satu dekade ke depan,” kata Viko
Viko mengatakan, kebutuhan pasar jelas namun yang jadi pertanyaannya apakah kita menyiapkan orang untuk bekerja, atau hanya untuk lulus?
Ada dislokasi serius antara ruang kelas dan realitas kerja. Kampus sibuk mengejar akreditasi, industri sibuk mencari orang yang bisa langsung bekerja.
Sementara yang di tengah? Lulusan, yang akhirnya tersesat di ruang tunggu “fresh graduate”.
Kemudian muncul pertanyaan sederhana tapi menohok seperti bagaimana
lulusan kita mau bersaing di pasar kerja global jika kemampuan bahasa saja peringkat 80 dari 116 di dunia?
Hal itu baru bahasa Inggris, belum menyentuh pada bahasa Jepang yang jauh lebih sulit, atau STEM.
Indonesia memang mencetak banyak sarjana. Sayangnya, dunia kerja tidak lagi merekrut gelar, yang direkrut adalah kompetensi.
Di Jepang, misalnya, operator chainsaw adalah profesi. Tidak dipandang rendah, tidak distereotipkan. Yang dinilai sederhana saja: apakah kompeten atau tidak.
Melihat realitas tersebut, Viko bersama co foundernya Aril membangun NOSUTA, sebuah platform pembiayaan pendidikan (student loan) yang fokus pada peningkatan keterampilan kerja dan mobilitas global talenta Indonesia.
Melalui jaringan partnernya, Nosuta berfokus pada penyediaan akses seperti pembiayaan pelatihan berbasis keterampilan, Standar pelatihan yang mengikuti kebutuhan industri, Sertikiasi
resmi untuk pembuktian kemampuan dan
Kemitraan dengan institusi pendidikan vokasi dan kampus industri.
Lebih lanjut, kata Viko, Nosuta bermitra dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) untuk menyiapkan lulusan yang siap kerja, bukan hanya siap lulus.
“Mobilitas kerja global tidak boleh hanya milik mereka yang mampu membayar. Harus ada jalur yang adil berbasis kemampuan, bukan kondisi ekonomi,” ujar Viko.
Viko menambahkan, batch berikutnya dijadwalkan mengikuti ujian resmi Tokutei Ginou Kehutanan di Prefektur Ehime pada Februari 2026
Nosuta merupakan platform pembiayaan keterampilan (student loan platform) berbasis di Jepang yang bekerja sama dengan institusi pendidikan di Indonesia untuk menyiapkan tenaga kerja profesional yang siap memasuki pasar kerja global.
Nosuta memulai dari sektor kehutanan Jepang melalui jalur Tokutei Ginou (SSW) dan akan berkembang ke sektor lain yang membutuhkan pekerja terampil. *
